Selasa, 04 April 2017

Periklanan dan Etika



PERIKLANAN DAN ETIKA

A. Fungsi Periklanan
Iklan dilukiskan sebagai komunikasi antara produsen dan pasaran, antara penjual dan calaon pembeli. Dalam proses komunikasi itu iklan menyampaikan sebuah pesan. Dengan demikian kita mendapat kesan bahwa periklanan terutama bermaksud memberi informasi dengan tujuan yaitu memperkenalkan sebuah produk atau jasa.
Dalam periklanan dapat dibedakan dua fungsi yaitu fungsi informatif dan fungsi persuasif. Fungsi periklanan dalam dunia bisnis adalah menyediakan informasi sedangkan dalam dunia konsumen periklanan dilihat sebagai usaha promosi.
Contoh iklan yang mempunyai unsur informasi yang kuat diantaranya yaitu seperti asuransi dan pariwisata (hotel, fasilitas rekreasi, iklan dalam surat kabar), dan contoh iklan yang mempunyai unsur persuasif yaitu seperti iklan tentang pakaian, makanan, rumah. Tercampurnya unsur informatif dan unsur persuasif dalam periklanan membuat penilaian etis terhadapnya menjadi lebih kompleks. Seandainya iklan semata-mata informatif atau persuasif, tugas etika disini bisa menjadi lebih mudah. Tapi pada kenyataannya tidak demikian, dengan akibat bahwa etika harus bernuansa dalam menghadapi aspek-aspek etis dari periklanan.

B. Periklanan dan kebenaran
            Pada umumnya periklanan tidak mempunyai reputasi baik sebagai pelindung atau pejuang kebenaran. Sebaliknya, kerap kali iklan terkesan suka membohongi, menyesatkan dan bahkan menipu publik. Ada dua unsur timbulnya kebohongan, unsur pertama yaitu kesengajaan. Contohnya kalau seandainya ia mengatakan sesuatu yang dianggapnya tidak benar sedangkan secara obyektif hal itu memang benar, maka secara formal ia berbohong. Sebalikmya, jika ia ingin mengatakan sesuatu yang benar, sedangkan pada kenyataannya apa yang dikatakannya itu tidak benar maka si pembicara itu keliru tapi tidak berbohong. Unsur yang ke dua adalah berbohong dengan tujuan bukan untuk membuat orang lain percaya dengan apa yang diakatan, contohnya adalah ketika kita bercanda maka tujuan dari kebohongan itu adalah untuk membuat orang tertawa karena semua orang mengerti bahwa apa yang dikatakan itu tidak benar.  Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa berbohong adalah dengan sengaja mengatakan sesuatu yang tidak benar, agar orang lain percaya.
            Dalam konteks periklanan, ada dua unsur yaitu unsur informatif dan unsur persuasif. Unsur informatif harus selalu benar, karena informasi selalu diberikan agar orang percaya. Informasi yang tidak benar akan menipu publik yang dituju. Contohnya jika dalam sebuah iklan produk makanan terdapat informasi “makanan halal” atau “madu asli tidak mengandung campuran gula” maka infomasi seperti itu haruslah benar sedangkan unsur persuasif atau promosi digunakan untuk merayu konsumen dengan menggunakan bahasa periklanan yang hiperbola dan menggunakan retorika tersendiri. Contohnya jika kita menggunakan iklan yang berbunyi “sabun mandi kami sama seperti sabun mandi merek lain” kemungkinan besar benar, tetapi sebagai iklan kata-kata tersebut tidak menarik. Maka dari itu kata tersebut diganti menjadi “sabun mandi ini dipakai oleh sembilan dari sepuluh bintang film” maka akan terdengar lebih menarik, tetapi tidak diharapkan agar orang percaya secara harfiah.
            Selain karena berbohong,  iklan bisa bersifat tidak etis juga karena menipu. Dalam konteks ini berbohong dan menipu tidak selamanya sama. Penipuan adalah dengan sengaja mengatakan atau melakukan sesuatu yang mengakibatkan orang lain percaya apa yang tidak benar dan hal itu dikatakan atau dilakukan dengan maksud agar orang lain percaya. Contohnya adalah ketika ada iklan obat yang mengatakan ketika meminum obat ini maka akan langsung sembuh. Maka iklan itu mengandung unsur penipuan, terutama untuk publik sederhana yang berpendidikan rendah dan memiliki sikap yang kurang kritis.

C. Manipulasi dengan periklanan
            Manipulasi dimaksudkan untuk mempengaruhi kemauan orang lain sedemikian rupa, sehingga ia menghendaki atau menginginkan sesuatu yang sebenarnya tidak dipilih oleh orang itu sendiri. Karena dimanipulasi, seseorang mengikuti motivasi yang tidak berasal dari dirinya sendiri, tapi “ditanamkan” dalam dirinya dari luar. Contohnya adalah hipnotis tanpa izin dari subjek bersangkutan. Hipnotis adalah tindakan seseorang yang memasukan orang lain dalam keadaan setengah sadar, dimana orang itu merasakan atau melakukan hal-hal yang tidak dirasakannya atau dilakukannya dalam keadaan biasa. Manipulasi dengan cara itu tentu di nilai tidak etis, karena melanggar otonomi manusia.
            Periklanan berusaha mempengaruhi tingkah laku manusia dengan memanfaatkan faktor-faktor psikologis seperti status, gengsi, seks dan sebagainya. Contohnya jika juara bulu tangkis tampi dalam iklan susu, hal itu dianggap efektif untuk mempengaruhi konsumen dari pada menampilkan orang biasa, karena juara bulu tangkis adalah idola masyarakat dan akan banyak masyarakat yang tergerak untuk ikut mengonsumsi produk susu tersebut.
            Ada dua cara iklan untuk mempengaruhi masyarakat, cara yang pertama adalah subliminal advertising yaitu teknik periklanan yang sekilas menyampaikan suatu pesan dengan begitu cepat, sehingga tidak dipersepsikan dengan sadar, tapi tinggal di bawah ambang kesadaran. Contohnya di dalam bioskop di New Jersey menyisipkan sebuah kata di dalam salah satu film yang berbunyi “lapar. Makan popcorn”. Konon waktu istirahat popcorn jauh lebh laris dari biasanya. Namun, dalam sebuah penelitian menunjukan bahwa teknik periklanan ini tidak efektif dan tidak benar. Cara yang ke dua adalah iklan yang ditunjukan kepada anak. Iklan seperti ini juga dianggap tidak etis, karena anak belum bisa mengambil keputusan sendiri sehingga anak lebih mudah dimanipulasi.

D. Pengontrolan terhadap iklan
            Karena kemungkinan dipermainkannya kebenaran dan terjadinya manipulasi merupakan hal-hal rawan dalam bisnis periklanan, perlulah adanya control tepat yang dapat mengimbangi kerawanan tersebut. Pada umumnya yang dikatakan bahwa pengontrolan seperti itu terutama harus dijalankan dengan tiga cara berikut ini: oleh pemerintah, oleh periklanan sendiri, dan oleh masyarakat luas.
1.      Kontrol oleh pemerintah
Di sini terletak suatu tugas penting bagi pemerintah, yang harus melindungi masyarakat konsumen terhadap keganasan periklanan. Mungkin dalam hal ini bisa kita belajar dari Amerika Serikat. Tidak ada negara lain dimana praktek periklanan begitu maju dan begitu intensif, namun disitu pun ada instansi-instansi pemerintah yang mengawasi praktek peiklanan dengan cukyp efisien, antara lain melalui Food and Drug Administration dan terutama Federal Trade Commission. Komisi terakhir ini bisa memaksakan perusahaan untuk meralat iklan-iklan uang menyesatkan. Di Indonesai iklan tentang makanan dan obat diawasi oleh Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (POM) dari Departemen Kesehatan.
2.      Kontrol oleh para pengiklan
Cara paling ampuh untuk mengulangi masalah etis tentang periklanan adalah pengaturan diri (self regulation) oleh dunia periklanan. Biasanya hal itu dilakukan dengan menyusun sebuah kode etik, sejumlah norma dan pedoman yang disetujui oleh profesi periklanan itu sendiri, khususnya oleh asosiasi biro-biro periklanan. Di Indonesia kita memiliki Tata Krama dan tata cara periklanan Indonesia yang disempurnakan (1996) yang dikeluarkan oleh AMLI (Asosiasi Perusahaan Media Luar Ruang Indonesia), ASPINDO (Asosiasi Pemrakarsa dan Penyantun Iklan Indonesia), GPBSI (Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia).
3.      Kontrol oleh masyarakat
Masyarakat luas tentu harus diikutsertakan dalam mengawasi mutu etis periklanan. Dalam hal ini suatu cara yang terbukti membawa banyak hasil dalam menetralisasi efek-efek negative dari periklanan adalah mendukung dan menggalakkan lembaga-lembaga konsumen, yang sudah lama dikenal dinegara-negara maju dan sejak tahun 1970-an berada juga di Indonesia (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia di Jakarta dan kemudian Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen di Semarang). Sebetulnya setiap kota besar pantas memiliki Lembaga Swadaya Masyarakat yang bertujuan advokasi konsumen seperti Lembaga – Lembaga ini. Laporan-laporan oleh lembaga-lembaga konsumen tentang suatu produk atau jasa sangat efektif sebagai control atas kualitasnya dan serentak juga atas kebenaran periklanan. Jika lembaga konsumen yang berwibawa atas dasar penelitian yang melibatkan laboratorium dan ahli-ahli di bidang terkait mengeluarkan laporan negative terhadap kebenaran iklan, hal itu merupakan pukulan berat bagi produsen bersangkutan, karena dalam sekejap melenyapkan efek dari kampanye periklanan yang lama dan memakan biaya banyak.
Selain menjaga agar periklanan tidak menyalahi batas-batas etika melalui pengontrolan terhadap iklan-iklan dalam media massa, ada juga cara lebih positif untuk meningkatkan mutu etis dari iklan dengan memberikan penghargaan kepada iklan yang diniliai paling baik.

E. Penilaian Etis Terhadap Iklan
            Refleksi tentang masalah-masalah etis disekitar praktek priklnan  merupakan contoh bagus mengenai komplektisitas pemikiran moral. Prinsip-prinsip etis yang penting dalam konteks periklanan ( tidak boleh berbohong, otonomi manusia harus dihormati) dalam pasal terakhir kita memandang 4 faktor berikut yang selalu harus dipertimbangkan dalam menerapkan prinsip-prinsip tersebut, jika kita ingin membentuk penilaian etis yang seimbang tentang iklan : maksud si pengiklan, isi iklan, keadaan publik yang tertuju, dan kebiasaan di bidang periklanan.
1. Maksud Si Pengiklan
Apa yang menjadi maksu si pengiklan? Jika maksud si pengiklan tidak baik, dengan sendirinya moralitas iklan itu menjadi tidak baik juga. Jika si pengiklan tidak tahu bahwa produk yang dijalankan merugikan konsumen atau dengan sengaja ia menjelekan produk dari pesaing, iklan menjadi tidak etis.
2. Isi Iklan
Juga menurut isinya iklan harus benar dan tidak boleh mengandung unsur yang menyesatkan. Iklan tentang hal yang tidak bermoral, dengan sendirinya menjadi tidak etis, misalnya iklan tentang menawarkan jasa seorang sebagai pembunuh sewaan atau iklan tentang lelang budak belian.
3. Keadaan Publik yang Tertuju
Sikap berhati-hati sebelum membeli memang merupakan sikap dasar bagi calon pembeli. Demikan juga dalam konteks periklanan. Publik sebaiknya mempunyai skepsis yang sehat terhadap usaha persuasi dari periklanan. Yang dimengerti disini dengan publik adalah orang dewasa yang normal dan mempunyai informasi cukup tentang produk atau jasa yang diiklankan. Secara umum bisa dikatakan bahwa perikalan mempunyai potensi besar untuk mengipas-ngipas kecemburuan sosial dalam masyarakat dengan memamerkan sikap konsumerisme dan hedonisme dari suatu elite kecil. Hal ini merupakan aspek etis yang sangat penting terutama dalam masyarakat yang ditandai kesenjangan sosial yang besar seperti indonesia.
4. Kebiasaan di Bidang Periklanan
Periklanan selalu dipraktekan dalam rangkasuatu tradisi. Dalam tradisi itu orang sudah biasa dengan cara tertentu disajikannya iklan. Sudah ada aturan main yang disepakati secara implisit atau eksplisit dan yang sering kali tidak dapat dipisahkan dari etos yang memadai masyarakat itu. Seperti halnya juga dibidang-bidang lain, tradisi itu menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Dimana ada tradisi periklanan yang sudah lama dan terbentuk kuat, tentu masuk akal saja bila beberapa iklan lebih mudah diterima daripada dimana praktek perikalan baru mulai dijalankan pada skala besar. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar