PERIKLANAN
DAN ETIKA
A. Fungsi
Periklanan
Iklan
dilukiskan sebagai komunikasi antara produsen dan pasaran, antara penjual dan
calaon pembeli. Dalam proses komunikasi itu iklan menyampaikan sebuah pesan.
Dengan demikian kita mendapat kesan bahwa periklanan terutama bermaksud memberi
informasi dengan tujuan yaitu memperkenalkan sebuah produk atau jasa.
Dalam
periklanan dapat dibedakan dua fungsi yaitu fungsi informatif dan fungsi
persuasif. Fungsi periklanan dalam dunia bisnis adalah menyediakan informasi
sedangkan dalam dunia konsumen periklanan dilihat sebagai usaha promosi.
Contoh
iklan yang mempunyai unsur informasi yang kuat diantaranya yaitu seperti
asuransi dan pariwisata (hotel, fasilitas rekreasi, iklan dalam surat kabar),
dan contoh iklan yang mempunyai unsur persuasif yaitu seperti iklan tentang
pakaian, makanan, rumah. Tercampurnya unsur informatif dan unsur persuasif
dalam periklanan membuat penilaian etis terhadapnya menjadi lebih kompleks.
Seandainya iklan semata-mata informatif atau persuasif, tugas etika disini bisa
menjadi lebih mudah. Tapi pada kenyataannya tidak demikian, dengan akibat bahwa
etika harus bernuansa dalam menghadapi aspek-aspek etis dari periklanan.
B.
Periklanan dan kebenaran
Pada
umumnya periklanan tidak mempunyai reputasi baik sebagai pelindung atau pejuang
kebenaran. Sebaliknya, kerap kali iklan terkesan suka membohongi, menyesatkan
dan bahkan menipu publik. Ada dua unsur timbulnya kebohongan, unsur pertama
yaitu kesengajaan. Contohnya kalau seandainya ia mengatakan sesuatu yang
dianggapnya tidak benar sedangkan secara obyektif hal itu memang benar, maka
secara formal ia berbohong. Sebalikmya, jika ia ingin mengatakan sesuatu yang
benar, sedangkan pada kenyataannya apa yang dikatakannya itu tidak benar maka
si pembicara itu keliru tapi tidak berbohong. Unsur yang ke dua adalah
berbohong dengan tujuan bukan untuk membuat orang lain percaya dengan apa yang
diakatan, contohnya adalah ketika kita bercanda maka tujuan dari kebohongan itu
adalah untuk membuat orang tertawa karena semua orang mengerti bahwa apa yang
dikatakan itu tidak benar. Dengan
demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa berbohong adalah dengan sengaja
mengatakan sesuatu yang tidak benar, agar orang lain percaya.
Dalam
konteks periklanan, ada dua unsur yaitu unsur informatif dan unsur persuasif.
Unsur informatif harus selalu benar, karena informasi selalu diberikan agar
orang percaya. Informasi yang tidak benar akan menipu publik yang dituju.
Contohnya jika dalam sebuah iklan produk makanan terdapat informasi “makanan
halal” atau “madu asli tidak mengandung campuran gula” maka infomasi seperti
itu haruslah benar sedangkan unsur persuasif atau promosi digunakan untuk
merayu konsumen dengan menggunakan bahasa periklanan yang hiperbola dan
menggunakan retorika tersendiri. Contohnya jika kita menggunakan iklan yang
berbunyi “sabun mandi kami sama seperti sabun mandi merek lain” kemungkinan
besar benar, tetapi sebagai iklan kata-kata tersebut tidak menarik. Maka dari
itu kata tersebut diganti menjadi “sabun mandi ini dipakai oleh sembilan dari
sepuluh bintang film” maka akan terdengar lebih menarik, tetapi tidak
diharapkan agar orang percaya secara harfiah.
Selain
karena berbohong, iklan bisa bersifat
tidak etis juga karena menipu. Dalam konteks ini berbohong dan menipu tidak
selamanya sama. Penipuan adalah dengan sengaja mengatakan atau melakukan
sesuatu yang mengakibatkan orang lain percaya apa yang tidak benar dan hal itu
dikatakan atau dilakukan dengan maksud agar orang lain percaya. Contohnya
adalah ketika ada iklan obat yang mengatakan ketika meminum obat ini maka akan
langsung sembuh. Maka iklan itu mengandung unsur penipuan, terutama untuk
publik sederhana yang berpendidikan rendah dan memiliki sikap yang kurang
kritis.
C.
Manipulasi dengan periklanan
Manipulasi
dimaksudkan untuk mempengaruhi kemauan orang lain sedemikian rupa, sehingga ia
menghendaki atau menginginkan sesuatu yang sebenarnya tidak dipilih oleh orang
itu sendiri. Karena dimanipulasi, seseorang mengikuti motivasi yang tidak
berasal dari dirinya sendiri, tapi “ditanamkan” dalam dirinya dari luar.
Contohnya adalah hipnotis tanpa izin dari subjek bersangkutan. Hipnotis adalah
tindakan seseorang yang memasukan orang lain dalam keadaan setengah sadar,
dimana orang itu merasakan atau melakukan hal-hal yang tidak dirasakannya atau
dilakukannya dalam keadaan biasa. Manipulasi dengan cara itu tentu di nilai
tidak etis, karena melanggar otonomi manusia.
Periklanan
berusaha mempengaruhi tingkah laku manusia dengan memanfaatkan faktor-faktor
psikologis seperti status, gengsi, seks dan sebagainya. Contohnya jika juara
bulu tangkis tampi dalam iklan susu, hal itu dianggap efektif untuk
mempengaruhi konsumen dari pada menampilkan orang biasa, karena juara bulu
tangkis adalah idola masyarakat dan akan banyak masyarakat yang tergerak untuk
ikut mengonsumsi produk susu tersebut.
Ada
dua cara iklan untuk mempengaruhi masyarakat, cara yang pertama adalah subliminal advertising yaitu teknik
periklanan yang sekilas menyampaikan suatu pesan dengan begitu cepat, sehingga
tidak dipersepsikan dengan sadar, tapi tinggal di bawah ambang kesadaran.
Contohnya di dalam bioskop di New Jersey menyisipkan sebuah kata di dalam salah
satu film yang berbunyi “lapar. Makan popcorn”.
Konon waktu istirahat popcorn jauh
lebh laris dari biasanya. Namun, dalam sebuah penelitian menunjukan bahwa
teknik periklanan ini tidak efektif dan tidak benar. Cara yang ke dua adalah
iklan yang ditunjukan kepada anak. Iklan seperti ini juga dianggap tidak etis,
karena anak belum bisa mengambil keputusan sendiri sehingga anak lebih mudah
dimanipulasi.
D. Pengontrolan terhadap iklan
Karena
kemungkinan dipermainkannya kebenaran dan terjadinya manipulasi merupakan
hal-hal rawan dalam bisnis periklanan, perlulah adanya control tepat yang dapat
mengimbangi kerawanan tersebut. Pada umumnya yang dikatakan bahwa pengontrolan
seperti itu terutama harus dijalankan dengan tiga cara berikut ini: oleh
pemerintah, oleh periklanan sendiri, dan oleh masyarakat luas.
1. Kontrol
oleh pemerintah
Di sini terletak
suatu tugas penting bagi pemerintah, yang harus melindungi masyarakat konsumen
terhadap keganasan periklanan. Mungkin dalam hal ini bisa kita belajar dari
Amerika Serikat. Tidak ada negara lain dimana praktek periklanan begitu maju
dan begitu intensif, namun disitu pun ada instansi-instansi pemerintah yang
mengawasi praktek peiklanan dengan cukyp efisien, antara lain melalui Food and Drug Administration dan
terutama Federal Trade Commission.
Komisi terakhir ini bisa memaksakan perusahaan untuk meralat iklan-iklan uang
menyesatkan. Di Indonesai iklan tentang makanan dan obat diawasi oleh
Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (POM) dari Departemen
Kesehatan.
2. Kontrol
oleh para pengiklan
Cara paling
ampuh untuk mengulangi masalah etis tentang periklanan adalah pengaturan diri
(self regulation) oleh dunia periklanan. Biasanya hal itu dilakukan dengan
menyusun sebuah kode etik, sejumlah norma dan pedoman yang disetujui oleh
profesi periklanan itu sendiri, khususnya oleh asosiasi biro-biro periklanan.
Di Indonesia kita memiliki Tata Krama dan
tata cara periklanan Indonesia yang disempurnakan (1996) yang dikeluarkan
oleh AMLI (Asosiasi Perusahaan Media Luar Ruang Indonesia), ASPINDO (Asosiasi
Pemrakarsa dan Penyantun Iklan Indonesia), GPBSI (Gabungan Perusahaan Bioskop
Seluruh Indonesia).
3. Kontrol
oleh masyarakat
Masyarakat luas
tentu harus diikutsertakan dalam mengawasi mutu etis periklanan. Dalam hal ini
suatu cara yang terbukti membawa banyak hasil dalam menetralisasi efek-efek
negative dari periklanan adalah mendukung dan menggalakkan lembaga-lembaga
konsumen, yang sudah lama dikenal dinegara-negara maju dan sejak tahun 1970-an
berada juga di Indonesia (Yayasan Lembaga
Konsumen Indonesia di Jakarta dan kemudian Lembaga Pembinaan dan Perlindungan
Konsumen di Semarang). Sebetulnya setiap kota besar pantas memiliki Lembaga
Swadaya Masyarakat yang bertujuan advokasi konsumen seperti Lembaga – Lembaga
ini. Laporan-laporan oleh lembaga-lembaga konsumen tentang suatu produk atau
jasa sangat efektif sebagai control atas kualitasnya dan serentak juga atas
kebenaran periklanan. Jika lembaga konsumen yang berwibawa atas dasar
penelitian yang melibatkan laboratorium dan ahli-ahli di bidang terkait
mengeluarkan laporan negative terhadap kebenaran iklan, hal itu merupakan
pukulan berat bagi produsen bersangkutan, karena dalam sekejap melenyapkan efek
dari kampanye periklanan yang lama dan memakan biaya banyak.
Selain menjaga agar
periklanan tidak menyalahi batas-batas etika melalui pengontrolan terhadap
iklan-iklan dalam media massa, ada juga cara lebih positif untuk meningkatkan
mutu etis dari iklan dengan memberikan penghargaan kepada iklan yang diniliai
paling baik.
E. Penilaian Etis Terhadap
Iklan
Refleksi
tentang masalah-masalah etis disekitar praktek priklnan merupakan contoh bagus mengenai
komplektisitas pemikiran moral. Prinsip-prinsip etis yang penting dalam konteks
periklanan ( tidak boleh berbohong, otonomi manusia harus dihormati) dalam
pasal terakhir kita memandang 4 faktor berikut yang selalu harus
dipertimbangkan dalam menerapkan prinsip-prinsip tersebut, jika kita ingin
membentuk penilaian etis yang seimbang tentang iklan : maksud si pengiklan, isi
iklan, keadaan publik yang tertuju, dan kebiasaan di bidang periklanan.
1.
Maksud Si Pengiklan
Apa
yang menjadi maksu si pengiklan? Jika maksud si pengiklan tidak baik, dengan
sendirinya moralitas iklan itu menjadi tidak baik juga. Jika si pengiklan tidak
tahu bahwa produk yang dijalankan merugikan konsumen atau dengan sengaja ia
menjelekan produk dari pesaing, iklan menjadi tidak etis.
2.
Isi Iklan
Juga
menurut isinya iklan harus benar dan tidak boleh mengandung unsur yang
menyesatkan. Iklan tentang hal yang tidak bermoral, dengan sendirinya menjadi
tidak etis, misalnya iklan tentang menawarkan jasa seorang sebagai pembunuh
sewaan atau iklan tentang lelang budak belian.
3.
Keadaan Publik yang Tertuju
Sikap
berhati-hati sebelum membeli memang merupakan sikap dasar bagi calon pembeli.
Demikan juga dalam konteks periklanan. Publik sebaiknya mempunyai skepsis yang
sehat terhadap usaha persuasi dari periklanan. Yang dimengerti disini dengan
publik adalah orang dewasa yang normal dan mempunyai informasi cukup tentang
produk atau jasa yang diiklankan. Secara umum bisa dikatakan bahwa perikalan
mempunyai potensi besar untuk mengipas-ngipas kecemburuan sosial dalam
masyarakat dengan memamerkan sikap konsumerisme dan hedonisme dari suatu elite
kecil. Hal ini merupakan aspek etis yang sangat penting terutama dalam
masyarakat yang ditandai kesenjangan sosial yang besar seperti indonesia.
4.
Kebiasaan di Bidang Periklanan
Periklanan
selalu dipraktekan dalam rangkasuatu tradisi. Dalam tradisi itu orang sudah
biasa dengan cara tertentu disajikannya iklan. Sudah ada aturan main yang
disepakati secara implisit atau eksplisit dan yang sering kali tidak dapat
dipisahkan dari etos yang memadai masyarakat itu. Seperti halnya juga
dibidang-bidang lain, tradisi itu menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak
boleh dilakukan. Dimana ada tradisi periklanan yang sudah lama dan terbentuk
kuat, tentu masuk akal saja bila beberapa iklan lebih mudah diterima daripada
dimana praktek perikalan baru mulai dijalankan pada skala besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar